Sabtu, 17 Agustus 2013

Pramuka, Sejarah, dan Nasionalisme


Jas Merah - Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Seingatku ini diucapkan oleh guruku semasa SMP sebagai salah satu pesan dari mantan presiden Ir. Soekarno. Dan dulu kata-kata ini lewat begitu saja di otakku. Tidak punya makna khusus dan tidak pula membuatku merasa terenyuh. Tapi sekarang kasusnya beda.
Sejak SMA aku jadi ikut organisasi, mungkin terbawa kesenangan sama Pramuka saat SMP sampai hampir ikut kontingen Sulawesi Utara di Jambore Nasional 2006. Sayang karena SMP cuma 2 tahun dan harusnya aku masih kelas 2, aku harus Ujian Nasional.
Saat itu, mungkin sampai sekarang, pelatihan untuk Jambore Nasional di daerahku berlokasi di gedung pramuka dan kadang di gedung pingkan matindas, di kompleks KONI (Komisi Olahraga Nasional Indonesia). Sejak latihan intensif setiap hari itu, aku menyadari kenapa Pramuka ada dan lestari di seluruh belahan dunia. Bukan cuma diajari baris-berbaris dan disiplin. Tapi cara bertahan hidup dimana-mana. Belajar berbagai simpul untuk berbagai fungsi yang berbeda, belajar membangun tenda, belajar dasar pengobatan sederhana, bahkan belajar sandi yang ditangkap oleh mata maupun telinga dan berbagai kemampuan 'manual dan primitif' lainnya. Kata orang, kalau ke hutan, selain para profesional, yang akan keluar dengan selamat adalah mereka yang pernah belajar Pramuka dengan sungguh-sungguh.

Adalah yang tidak malu tidak mengetahui beda letak manado dan Medan? Ada yang tidak tahu Suku Toraja itu dari Sulawesi Selatan? Atau ada yang tidak tahu kalau Blitar itu ada di propinsi mana? Kalau ada, semoga Tuhan dan arwah para pejuang negara memaafkan anda :)

Ada satu hal yang sangat mengena, baru akhir-akhir ini semenjak kuliah. Bukan cuma pelajaran untuk 'tetap hidup' secara fisik, tapi Pramuka juga mengajarkanku untuk 'tetap hidup' secara spiritual. Tetap memiliki dan mencintai jati diri. Kita harus hafal dan mengamalkan Dasa Dharma Pramuka, Pancasila, dan Undang- Undang Dasar. Oh ya, harus bisa dan biasa menyanyikan lagu-lagu nasional maupun daerah. Dulu aku merasa itu bodoh. Apa yang kudapatkan dengan menghafalkan semuanya?



Kehormatan. Sekali lagi, kehormatan. Kebanggaan mengenakan kacu merah-putih di sekeliling kerah seragam pramuka-ku. Keharuan mengibarkan bendera dwiwarna ini di halaman rumahku dan menurunkannya lagi setiap sebelum senja datang.

Acara semalam bagus sekali, coba ditengok acara Bukan Empat Mata edisi 16 Agustus 2014. Ada sejarahwan hebat yang selama ini kita kenal sebagai pelawak, dan cucu dari Wage Rudolf Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya.
Kata Bopak, 'Baju atau identitas terbaik yang dimiliki bangsa adalah rasa nasionalisme.' Setuju! Maka, kenakanlah dengan bangga, kawan.!
Simak cuplikan video perbincangan dengan mereka ini.

Bopak, Sejarahwan sekaligus pelawak negeri.

Budi Harry, cucu Wage Rudolf Soperatman.

Aku sempat mengunjungi beberapa daerah di Indonesia dan melihat hampir semua becak dan delman (di beberapa daerah punya nama lain, seperti bendi, andong, atau dokar) memasang bendera merah-putih di kendaraannya yang sederhana. Dengan melihat budaya dan upacara yang sangat menarik. Festival daerah. Kekayaan alam yang tidak pernah habis diceritakan. Kebersamaan dan keramahan negara tujuan wisata. Dan semua korelasinya dengan Pancasila. Ya. 'Ketuhanan yang Maha Esa', Indonesia adalah negara beragama. 'Kemanusiaan yang adil dan beradab', lihatkah semakin 'murni indonesia'nya, mereka semakin 'manusia'? 'Persatuan Indonesia' jelas, negara kepulauan dengan ribuan pulau mana yang bisa tetap menjadi negara tanpa persatuan? 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' ya, kita negara demokrasi yang diberi hikmat. dan 'Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia'
Terdengar munafik kan? Sayangnya iya :( Tapi sadar kan yang membuat Pancasila itu munafik, ya kita sendiri. Kita terlalu senang bergembira dan melupakan sejarah, bahkan melupakan Pancasila. Pancasila itu bukan cuma arsip dan bualan para pendiri bangsa lho, Pancasila itu adalah cita-cita dan doa Bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Bagaimana kita tidak bangga dengan bahasa yang begitu indah dan kaya, alam yang diimpikan semua bangsa (ingat kenapa Belanda dan Jepang dan para sekutu ingin menguasai Indonesia?), dan sejarah pencipta kebudayaan yang sekarang menjadi warisan sejarah dunia? Bagaimana kita tidak bersyukur dilahirkan di 'surga'-nya bumi? Kacau tidaknya bangsa terlahir dari mereka yang tidak mencintai negaranya dan hanya mencintai dirinya sendiri.

Aku menulis ini karena aku selalu kagum terhadap negaraku dan selalu heran mengapa sebagian besar kawanku tidak. Aku selalu memimpikan cara mengisi kemerdekaan dengan cara yang aku bisa. Aku selalu salut pada para jurnalis dan reporter yang terus memberitakan negara baik atau buruknya, selalu salut dengan anak muda yang masih belajar dan mengembangkan kesenian dan festival daerah, para pelestari lingkungan, peneliti, sejarahwan, sastrawan, arsitek vernakular, serta semua yang berperan dalam mempertahankan 'keindonesiaan' kita.


17 Agustus 2013, saatnya menemukan cara kita sendiri untuk mengisi kemerdekaan dan berhenti membuang waktu.

Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar