Jumat, 25 Januari 2013

BELAJAR ARSITEKTUR ADALAH BELAJAR SERIBU ILMU

Dulu sewaktu masih jadi mahasiswa baru di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanagara, gue berpikir bahwa belajar arsitektur itu adalah belajar menganalisa lingkungan dan tanah yang akan dibangun (tapak/site), menganalisa kebutuhan pengguna, kemudian mendesain estetika, sirkulasi ruang, dan ujung - ujungnya memperhitungkan struktur dan biaya. Salah nggak pendapat itu? Sama sekali nggak. Tapi kurang lengkap.
Dua tahun pertama yang gue habiskan untuk belajar prinsip dasar dalam mendesain, sejarah, perhitungan - perhitungan matematis dan pasti jujur aja membuat gue muak dan capek dalam berarsitektur. Belajar sesuatu yang terlalu teknis menurut gue bukan suatu kreativitas meskipun dalam prakteknya ilmu itu dipakai untuk membantu proses kreatif dalam menciptakan desain.
Ini tahun keempat gue kuliah dan rasa muak itu seketika hilang. Sejak kapan? Sejujurnya baru sejak semester 7 kemarin gue merasa benar - benar nggak salah jurusan, hahahaha. Di semester 7 gue diajarkan untuk mendesain dengan metode walking in the city. Jalan - jalan pake kaki. Iya. Jalan aja dan perhatikan sekeliling, ngga mencari apa - apa. Not actually sih, sebenarnya ada pencariannya. Mencari 'jati diri' dari lingkungan yang kita jelajahi dengan cara terjun ke keseharian mereka. Bukan berarti kita hidup dengan cara mereka, tapi memahami pola dan cara mereka. Bingung? Gue juga bingung bahkan merasa dibodoh - bodohi dosen pada awalnya. What? Lo nyuruh gue muter - muter ga jelas di satu kawasan, perhatiin mobil lewat, orang lewat, apapun. Are you frickin kidding me?
Tapi apapun yang menurut gue aneh selalu membuat gue penasaran dan pengen mencoba. Gue pengen mencari tau bener - bener apa cara aneh ini bisa membantu gue menemukan fungsi apa yang nantinya akan gue buat untuk tugas gue kali ini. Dosen - dosen bilang namanya 'bottom up research' Agak susah menjelaskan prosesnya, sangat panjang dan melalui proses survey yang kadang ga jelas yang isinya cuma 3x mengelilingi 1 kelurahan dalam sehari sampai gue dikira tukang sensus *ngakak
Sebenernya bukan bottom up research dan walking in the city ini yang menjadi cerita gue. Tulisan kali ini adalah tentang betapa sekolah arsitektur itu bukan hanya tentang teknik dan estetika. We are not a drafter, we are a designer. Drafter itu menggambar. Arsitek nggak. Arsitek yang sebenarnya terjun ke dalam dunia yang akan dia arsitekturkan. Nyokap gue pernah bilang 'kamu belajar arsitektur itu harus peka. Arsitektur itu ibu semua ilmu'. Hmm..mungkin bukan ibu ya tepatnya tapi justru anak dari segala ilmu. Disini gue baru sadar, di tahun keempat gue bahwa arsitek sebenarnya bisa menguasai banyak ilmu sekaligus kalo dia mau.
Maksudnya adalah seperti ini : ketika kita menganalisa apa yang kita akan bangun pada saat walking in the city itu, kita belajar banyak hal. Misalnya buat mereka yang tapaknya di pasar. Memperhatikan aktivitas jual - beli dan kecenderungan bertindak serta psikologis orang - orang yang hidup di lingkungan pasar itu adalah mutlak. See? Kita belajar sesuatu yang tidak diajarkan di sekolah, yaitu budaya. Budaya itu bisa dipahami dengan dialami, bukan diajarkan. Lebih dari itu, kita belajar memahami dan menganalisa kecenderungan orang. Kita belajar realita sosial dan budaya yang ga akan kita pahami hanya dengan nonton tv atau baca buku. We experience it. Sehingga jawaban dari lapar tidak selalu restoran karena tidak semua orang yang lapar itu bisa kenyang dengan adanya restoran. Mereka mungkin lapar karena tidak ada uang. Tidak ada uang karena tidak punya pekerjaan. Tidak punya pekerjaan karena tidak punya keahlian. Mereka akan tetap lapar walaupun kita buat seribu restoran. Sehingga jawaban arsitektural yang bijaksana dari kasus ini adalah sebuah pusat pelatihan gratis, bukan restoran. Karena alasan dari setiap kasus yang terjadi di setiap komunitas berbeda, maka analisa akan selalu diulang - ulang. Ada banyak kemungkinan lain untuk klien yang lain. See? We design what society need. Not what we want. Neither what they want.
Menurut gue seorang arsitek yang baik akan berfokus dulu pada perencanaan. Ga selalu berarti merencanakan dengan mengukur - ukur tapak, menganalisa pertumbuhan penduduk dan segala sesuatu yang menjurus ke penciptaan fisik. Tapi merencanakan dengan memahami apa yang ingin kita bangun. Mungkin banyak dari teman - teman yang beranggapan, misalnya, kita dari bottom up research dapet sebuah fungsi. Misalnya nih, rumah sakit. Kita bukan dokter, mungkin kita pernah berkunjung atau dirawat di sana. Tapi kita nggak tau rumah sakit itu seperti apa sebenarnya, iya kan? Mungkin ini sangat menghabiskan waktu, tapi untuk mendapatkan desain yang membantu penggunanya kita harus banyak belajar. Belajar alat apa aja sih yang ada di rumah sakit, cara pengoperasiannya bagaimana, pola orang di rumah sakit seperti apa, syarat higienitas, psikologi pasien, danblain sebagainya. Bukan cuma tentang organisasi ruang kan? Bukan cuma sekedar tentang ICU harus di depan dan kamar mayat harus ada dimana. Tapi semua yang berhubungan dengan rumah sakit termasuk jenis penyakit yg ditangani, pantangannya, dan cara penanganannya. Ribet? Tentu saja. Tapi begitulah seharusnya menurut gue. Dari situlah kemudian kita bisa mendesain arsitektur rumah sakit yang punya 'jiwa' yang pada akhirnya menunaikan tugasnya sebagai rumah sakit secara benar.
Untuk menciptakan arsitektur yang sebenarnya memang prosesnya panjang. Belajar teknik dan estetika itu mutlak. Tapi yang membuat karya arsitektur itu punya jiwa adalah seberapa maksimal peran yang iajalankan di masyarakat, untuk penggunanya. Juga seberapa dia mencerminkan jati diri kehidupan yang diwadahinya. Itu kenapa mempelajari budaya sekitar, psikologi, lingkungan, ekonomi, hukum, dan lain - lain menjadi sangat penting. Belajar arsitektur itu harus mau belajar ilmu lain. Jangan menganggap ilmu - ilmu laim yang bukan arsitektur tadi cuma sekedar sampingan dan bantuan untuk mendesain loh. Mereka justru adalah dasar dan panduan kita dalam mendesain. Ilmu teknis yang kita pelajari di kelas justru yang berupa bantuan memproses dasar ini menjadi sebuah karya arsitektur. Jadi apakah salah kalo gue bilang belajar arsitektur itu berarti belajar seribu ilmu?
Selamat berarsitektur dan menjiwai arsitektur!

posted from Bloggeroid

Kamis, 17 Januari 2013

JAKARTA BANJIR (MELULU) !

http://megapolitan.kompas.com/read/2013/01/17/15112942/90.582.Warga.DKI.Terkena.Dampak.Banjir

      Luar biasa! gue udah hampir 4 tahun tinggal di Jakarta, dan sempat ngalamin 1 banjir gede 2010 yang cuma sehari itu. sekarang gue ngalamin periode banjir besar, udah sebulan dan masih banjir - enggak - banjir - enggak. Lah kenapa nulis blognya baru hari ini?
      Hari ini luar biasa banget! Jakarta banjir parah, disebut" salah satu banjir terparah Jakarta, melebihi banjir 2007 yang katanya curah hujannya 2x lebih tinggi dari sekarang. Semua bendungan siaga, Bogor dan Depok ga berenti ujan. Bahkan Bekasi dan Tangerang ikut"an banjir. it's a crap! and...actually a trap. Jalanan macet total. boro - boro pulang, yang tadi pagi berangkat jam 7an mungkin sekarang belom sampe tempat kerjanya dan memutuskan buat puter balik ke rumah. Motor dibolehin masuk tol, banyak pohon tumbang. Bahkan dua pahlawan metropolitan, busway dan KRL pun mati kutu. busway semua dinonaktifin sementara gara" ruas jalan ada yang banjir sampe semeter. sebagian besar stasiun banjir dan ada yang rel - nya rusak. ini parah. bener - bener parah. Kampus gue sendiri? seperti biasa udah kelelep duluan dengan ketinggian yang sempet 120cm. FYI, kalo lo nonton berita lo pasti kenal kampus gue. gue kuliah di Universitas Tarumanagara - samping Trisakti. iya, dua kampus yang paling digebet banjir itu. jelas sih gue rasa, haha.
     Gue sendiri, hari ini, pagi ini tepatnya, harusnya sidang proposal buat tugas akhir. tapi tepat sebelom gue buka pintu mau capcus, ada bm yang bilang ' SIDANG DIGANTI TANGGAL 21 DAN 22 JANUARI DIKARENAKAN BANJIR. INFO DARI PAK RUDY SURYA '.  Oke, gue ga mau sotoy jadi gue buka twitter. dan enelan, Jakarta emang at it's worst. pagi - pagi aja perjalanan kereta udah diputus di manggarai, temen gue jadi korban gara - gara dia udah terlanjur jalan mau ke Jakarta Pusat. Nggak kebayang kalo gue berangkat pagian dikit aja, pasti skrg gue masih di jalan, lagi ngambang di manggarai, berusaha pulang, dan ga bisa ngeblog. Kecuali gue punya talent ngeblog sambil scuba diving :)) *kalo inget insiden babi ngambang di amigos depan Trisakti, gue jadi trauma ngobok banjir. ciyus.
     Gue sangat bersyukur sekaligus prihatin. Bersyukur karena pertama, gue sekarang tinggal di Depok. meskipun jauhnya naudzubillah, kalo gue mau ke kampus tinggal naik kereta. ga akan macet"an, dan kalo banjir ga ikutan kejebak. kalo sistem kereta kacaubalau sampe gue gabisa kekampus, pasti dosen" juga gabisa kekampus. karena itu berarti Jakarta lagi kacau juga kayak sekarang. Kedua, karena temen - temen dan keluarga gue - setidaknya yang gue denger kabarnya - aman aman aja, bahkan ada beberapa yang have fun dengan banjir ini. haha begok yak :D. Prihatin karena, gatau lah, gue bener bener mau nangis liat banjir hari ini. ibukota kita...KAYAK WATERBOOM! banyak infrastruktur yang rusak, listrik mati dimana - mana (ada yang memang putus, ada yang pemadaman bergilir), orang - orang pada stuck bahkan mau pulang aja ga bisa. bahkan, ada yang meninggal. Kesetrum lah, keseret arus sungai lah, ada pula yang tenggelem keseret ke dalam basement bangunan tinggi. Inalillahi :"""(( gue sedih beneran ini, jangan ketawa! gue pernah ngerasain banjir yang bikin gue harus jalan kaki dengan air seperut sampe sebetis sepanjang semanggi - benhil - slipi - s.parman. dan itu cukup bikin kaki gue minta pensiun karena kedinginan dan capek. i'm serious.
     Kenapa banjir? banjir salah siapa? kenapa juga mikirin? salah KITA SEMUA lah ya. kecotan klise - drainase jelek, pemerintah salah bangun. iya, mungkin salah. tapi emang pemerintah doang yang salah? dari jaman sutiyoso sampe jokowi, mungkin dari di Indonesia baru ada 5 provinsi, kita udah tau Indonesia itu akrab sama yang samanya banjir. tapi men, mau Indonesia sistem kanal dan drainase nya secanggih Belanda sekalipun, ga ada ngaruhnya kalo lo tetep buang sampah sembarangan. eh, gue serius loh. anak - anak kampus gue aja bisa dibilang makhluk - makhluk terpelajar yang beruntung, tapi buang sampah bener - bener ga dipikirin. mungkin iya gue anak daerah, tapi di kota asal gue kalo lo buang sampah sembarangan bakal dipelototin orang" tua.  lo bisa bayangin ilustrasi tentang kampus gue, dan bandingin ama banyaknya warga Jabodetabek yang mungkin ngelakuin hal serupa. sedikit - sedikit lama - lama menjadi bukit. masalah sampah mungkin klise ya, tapi ga akan pernah basi karena emang itu sejujurnya alesan besar. illegal logging sih out of topic ya menurut gue, ini yang menurut gue gara - gara manusia dalam kota, mostly.
    Ini yang lagi ngetik bukan ahli tata kota (seengaknya belom, aminin deh someday akan! hehe) ato menhub, ato menteri lingkungan hidup. tapi sepengetahuan gue ada beberapa cara ngatasin banjir kok, mulai dari diri sendiri. gue nambahin satu doang deh ya, yang menurut gue brilian sih. yang lainnya kayaknya udah pada tau. satu hal kecil, bikin sumur resapan / lubang biopori di rumah masing - masing. bor-nya ga gitu mahal kok, 100rb an. bikin di halaman masing- masing, beberapa biji. bantuin pemerintah - yang selama ini cuma kita hujatin doang itu - buat ngelaksanain misi 76.000 lubang biopori buat jakarta bebas banjir. pemerintah juga bukan supermen (dan gue rasa bahkan supermen juga gabakal sanggup sih), mereka gak bisa ngobok ngobok halaman lo buat bikinin lubang biopori satu - satu. masih banyak yang perlu dilakuin sama mereka, sebelom diprotes lagi sama kita. hehehe
     Ayo kita bikin di rumah masing - masing. ngekos? minta ijin dan jelasin ke ibu kosan pentingnya lubang biopori bisalah. punya jiwa sosial lebih? ayo yang dikampusnya punya organisasi ato divisi pengabdian masyarakat, lakuin pengadaan lubang biopori buat kampung - kampung rawan banjir yang mungkin warganya ga mampu beli bor. Beli beberapa bor dari hasil sumbangan, terus bikin baksos rame - rame (setelah minta ijin ke yang para empunya tanah tentunya). Kegiatan sosial dan kepedulian ga hanya bisa dilakuin ketika bencana udah terjadi. mecegah itu lebih bijaksana dan smart! so, stop complaining and start acting. pengen Jakarta tanpa waterboom raksasa kan? :)

kind regards,
dipta